Minggu, 26 Februari 2017

Cara Muhasabah Diri



Kehancuran hati itu disebabkan meremehkan muhasabah dan mengikuti hawa nafsu. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan lain-lain, dia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihiwasallam bersabda,
‘Orang yang cerdas adalah orang yang menundukkan hawa nafsunya dan beramal untuk persiapan sesudah mati, dan orang lemah adalah orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan untuk (diselamatkan) Allah.’1
Kata “Dana nafsahu” bermakna juga mengintrospeksi dirinya.
Imam Ahmad menyebutkan riwayat, dari Umar bin al-Khathab Rhadiyallahu’anhu, dia berkata,
‘Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, dan timbanglah (amal-amal) diri kalian sebelum kalian ditimbang, karena sesungguhnya hal itu dapat meringankan kalian atas hisab di Hari Kemudian, disebabkan hisab kalian saat ini. Dan berhiaslah (persiapan diri) kalian untuk hari penghadapan yang terbesar.’ (HR. at-Tirmidzi).
Muhasabah terbagi menjadi dua macam, yang pertama harus dilakukan sebelum beramal, dan kedua harus dilakukan sesudah beramal.

Muhasabah sebelum beramal

Ini maksudnya ketika orang ingin memulai suatu pekerjaan dan hendak mengawalinya, hendaklah mempertimbangkan hingga benar-benar jelas keutamaannya daripada meninggalkannya.
Allah Subhaanahu wata’ala merahmati seorang hamba yang merenung sejenak ketika berkeinginan (melakukan sesuatu), bila hal itu karena Allah Subhaanahu wata’ala, maka dia menjalaninya, tetapi bila karena selain-Nya maka dia harus meninggalkannya.
Sebagian ulama menjelaskan hal ini bahwa bila jiwa mulai bergerak untuk mengerjakan suatu pekerjaan, dan hamba mulai berkehendak, maka seharusnya dia merenung sejenak dan berpikir, apakah perbuatan itu dapat dilakukannya atau ia berada di luar kemampuannya? Bila amal itu tidak dapat dilakukannya, maka dia akan mundur darinya. Dan bila amal itu dapat dilakukannya, maka dia masih berpikir lagi dan merenung, apakah melakukannya adalah lebih baik baginya daripada meninggalkannya, ataukah meninggalkannya adalah lebik baik baginya daripada melakukannya?
Bila pilihan kedua lebih kuat, maka dia harus menghentikan dirinya dan tidak melanjutkan rencananya. dan jika pilihan pertama yang lebih kuat, maka dia harus merenung dan berpikir lagi untuk ketiga kalinya: apakah faktor pendorongnya adalah kehendak mendapatkaan ridha Allah, dan pahala dari-Nya ataukah faktor pembangkitnya hanyalah ambisi meraih kehormatan, pujian, dan harta benda dari makhluk? Bila pembangkitnya adalah yang kedua, maka dia tidak boleh meneruskan dan melakukannya, walaupun jalan terbuka baginya untuk mendapatkan sasaran dan tujuannya.
Bila faktor pendorongnya adalah yang pertama yaitu keinginan mendapatkan ridha Allah, maka orang harus merenung sekali lagi dan berpikir apakah dia membutuhkan rekan penolong untuk melakukannya atau tidak? Dan apakah dia memiliki orang-orang yang akan menolongnya bila dia membutuhkan pertolongan?
Bila ternyata dia tidak memiliki orang-orang yang menolongnya, maka dia harus berhenti dan menunda dulu sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihiwasallam mengulur jihad di Makkah hingga beliau mendapatkan kekuatan dan penolong. Dan bila dia memperoleh penolong, maka hendaklah dia terus maju karena dia pasti dimenangkan. Dan keberhasilan tidak akan terlepas melainkan bila salah satu persyaratannya tidak terpenuhi. Kalau terpenuhi pasti keberhasilan akan dicapai.
Inilah empat derajat di mana orang perlu untuk memuhasabah dirinya sebelum dia beramal. Karena tidak setiap perkara yang diinginkan oleh seorang hamba adalah dalam kemampuannya, dan tidak semua yang beada dalam kesanggupannya adalah lebih baik baginya untuk dilakukan daripada ditinggalkannya. Dan tidak semua yang lebih baik untuk dilakukan daripada ditinggalkannya adalah dia lakukan demi Allah. Dan tidak semua yang diperbuatnya demi Allah adalah menjadi penolong baginya.
Bila orang telah melakukan muhasabah demikian, maka menjadi jelaslah baginya, mana yang baik untuk dilakukannya dan mana yang harus ditinggalkannya.

Muhasabah sesudah beramal

Imam Ibnul Qayyim menjabarkan Muhasabah yang kedua yaitu dilakukan setelah beramal, yang terbagi menjadi tiga macam, diantaranya:
  1. Muhasabah jwa atas ketaatan yang telah kurang sempurna dalam menyempurnakan hak Allah Subhaanahu wata’ala, sehingga dia tidak melaksanakannya sesuai dengan yang sepantasnya.
  2. Menghisab diri sendiri atas segala amal yang mana meninggalkannya adalah lebih baik daripada mengerjakannya.
  3. Menghisab diri sendiri atas amal yang mubah atau biasa dilakukan, kenapa dia melakukannya? Apakah dia melakukan hal itu untuk mendapatkan ridha Allah dan kehidupan akhirat? Kalau demikian, maka dia telah beruntung. Atau apakah dia melakukan hal itu untuk kehidupan dunia dan kehidupan yang segera? Kalau demikian dia telah merugi dengn kerugian yang nyata, tidak beruntung dan memenangkan ridha Alllah.”

Akibat meninggalkan Muhasabah

Apakah akibat bagi orang-orang yang tidak memuhasabah dirinya?
Imam Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa orang yang tidak melakukan muhasabah dan menggampangkan masalah, akan banyak tergantung kepada ampunan Allah.
Inilah kondisi kaum yang tertipu, dia menutupkan kedua matanya dari akibat amal perbuatannya, sehingga dia tetap senantiasa pada sesuatu yang dikerjakannya, dan bergantung kepada ampunan Allah, sehingga dia meremehkan muhasabah diri dan melihat akibat yagn ditimbulkannnya.
Dan bila dia melakaukan hal itu, maka dia akan mudah melakukan dosa, akrab dan senang dengan dosa, dan sulit menghentikan diri darinya. Seandainya petuntuk datang kepadanya, maka dia pasti menyadari bahwa menjaga diri dan menhindarkan diri adalah lebih mudah, daripada menghentikan sesuatu yang telah terbiasa dilakukan dan merupakan adat.

1 HR. at-Tirmidzi no. 2459; Ibnu Majah no. 3260; Ibnu al-Mubarak dalam Kitab az-Zuhud no. 71; Ath-Thayalisi hal. 153; Ahmad 4/124; dan lain-lain dari hdits Syaddad bin Aus. Di dalam sanadnya terdapat Abu Bakar bin Abi Maryam al-Ghassani. Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah, Abu Hatim, an-Nasa’i, ad-Daruquthni, dan Ibnu Sa’ad berkata, “Hadits dhaif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar