Minggu, 26 Februari 2017

Adab dan Akhlak Wanita Muslimah

Kewajiban Muslimah Menutup Aurat

Makna Hijrah


Kata hijrah berasal dari Bahasa Arab, yang berarti meninggalkan, menjauhkan dari dan berpindah tempat. Dalam konteks sejarah hijrah, hijrah adalah kegiatan perpindahan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw bersama para sahabat beliau dari Mekah ke Madinah, dengan tujuan mempertahankan dan menegakkan risalah Allah, berupa akidah dan syari’at Islam.

Dengan merujuk kepada hijrah yang dilakukan Rasulullah Saw tersebut sebagaian ulama ada yang mengartikan bahwa hijrah adalah keluar dari “darul kufur” menuju “darul Islam”. Keluar dari kekufuran menuju keimanan.
Umat Islam wajib melakukan hijrah apabila diri an keluarganya terancam dalam mempertahankan akidah dan syari’ah Islam.

Perintah berhijrah terdapat dalam beberpa ayat Al-Qur’an, antara lain: Qs. Al-Baqarah 2:218).
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berhijrah di jalan Allah, mereka itu mengharpakn rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang mujairin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (ni;mat) yang mulia. (Qs. Al-An’fal, 8:74)

“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan (Qs. At-Taubah, 9:20)

Pada ayat-ayat di atas, terdapat esensi kandungan:

1. Bahwa hijrah harus dilakuakn atas dasar niat karena Allah dan tujuan mengarah rahamt dan
   keridhaan Allah.

2. Bahwa  orang-oerang  beriman yang berhijrah dan berjihad dengan motivasi karena Allah dan tujuan
   untuk meraih rahmat dan keridhaan Allah, mereka itulah adalah mu’min sejati yang akan memperoleh
   pengampunan Allah, memperoleh  keebrkahan rizki (ni’mat) yang mulai, dan kemenangan di sisi Allah.

3. Bahwa hijrah dan jihad dapat dilakukan dengan mengorbankan apa yang kita  miliki, termasuk  harta
   benda, bahkan jiwa.

4. Ketiga   ayat  tersebut  menyebut  tiga  prinsip  hidup, yaitu  iman,  hijrah dan jihad. Iman bermakna
   keyakinan, hijtah bermakna perubahan dan jihad bermakna perjuangan dalam menegakkan risalah Allah.

Makna Hijrah

Hijrah sebagai salah satu prinsip hidup, harus senantiasa kita maknai dengan benar. Secara bahasa hijrah berarti meninggalkan. Seseorang dikatakan hijrah jika telah memenuhi 2 syarat, yaitu, yaitu yang pertama ada sesuatu yang ditinggalkan dan kedua ada sesuatu yang dituju (tujuan). Kedua-duanya ahrus dipenuhi oleh seorang yang berhijrah. Meninggalkan segala hal yang buruk, negative, maksiat, kondisi yang tidak kondisif, menju keadaan yang lebih yang lebih baik, positif dan kondisi yang kondusif untuk menegakkan ajaran Islam.

Dalam realitas sejarah hijrah senantiasa dikaitkan dengan meninggalkan suatu tempat, yaitu adanya peristiwa hijrah Nabi dan para sahabat meninggalkan tepat yang tidak kondisuf untuk berdakwah. Bahkan peristiwa hijrah itulah yang dijadikan dasar umat Islam sebagai permulaan ahun Hijriyah.

Tahun Hiriyah, ditetapkan pertama kali oleh Khalifah Umar bin Khatab ra, sebagai jawaban atau surat Wali Abu Musa Al-As’ari. Khalifah Umar menetapkan Tahun Hijriyah Kalender Tahun Gajah, Kalender Persia untuk menggantikan penanggalan yang digunakan bangsa Arab sebelumnya, seperti yang berasal dari tahun Gajah, Kalender Persia, Kalender Romawi dan kalender-kalendar lain yang berasal dari tahun peristiwa-peristiwa besar Jahiliyah. Khlifah Umar memilih peristiwa Hijrah sebagai  taqwim Islam, karena Hijrah Rasulullah aw dan para sahabat dari Mekkah ke Madinah merupakan peristiwa paling monumental dalam perkembangan dakwah.

Secara garis besar hijrah kita bedkan menajdi dua macam yaitu:   

1. Hijrah Makaniyah : Yaitu meinggalkan suatu tempat. Bebebrapa jenis hijrah maknawiyah, yaitu:
a. Hijrah Rasulullah Saw dari Mekah ke Habasyiyah.
b. Hijrah Rasulullah Saw dari Mekah ke Madinah.
c. Hijrah dari suatu negeri yang didalamnya didominasi oleh hal-hal
    yang diharamkan.
d. Hijrah dari suatu negeri yang membahayakan kesehatan untuk menhindari penyakit menuju negeri
    yang aman.
e. Hijrah dari suatu tempat karena gangguan terhadap harta benda.
f. Hijrah dari suatu tempat karena menghindari tekanan fisik
   Seperti hijrahnya Ibrahim as dan Musa as, ketika Beliau khawatir akan gangguan kaumnya.
   Seperti yang tecantum dalam al-Qur’an:
  Berkatalah Ibrahim: “Sesungguhnya aku akan berpindah ke (tempat yang diperintahkan).
  Tuhanku, Sesungguhnya Dialah yang Maha erkasa lagi Maha Bijaksana (Qs. Al-Ankabuit, 29:26).

Maka keluarkanlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatri, dia berdo’a “Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu (Qs. Al-Qashah, 2:21).

2. Hijrah Maknawiyah

Secara  maknaiyah hijrah dibedakan menjadi 4 macam, yaitu:

a. Hijrah I’tiqadiyah
Yaitu hijrah keyakinan. Iman bersifat pluktuatif, kadang menguat menuju puncak keyakinan mu’min sejati, kadang pula melemah mendekati kekufuran Iman pula kadang hadir dengan kemurniannya, tetapi kadang pula  bersifat sinkretis, bercampur dengan keyakinan lain mendekati memusyrikan. Kita harus segera melakuakn hijrah keyakinan bila berada di tepi jurang kekufuran dan kemusyrikan keyakinan. Dalam konteks psikologi biasa disebut dengan konversi keyakinan agama.

b. Hijrah Fikriyah
Fikriyah secara bahasa berasal dari kata fiqrun yang artinya pemikiran. Seiring perkembangan zaman, kemajuan teknologi dan derasnya arus informasi, seolah dunia tanpa batas. Berbagai informasi dan pemikiran dari belahan bumi bisa secara oline kitya akses.

Dunia yang kita tempati saat ini, sebenarnya telah menjadi medan perang yang kasat mata. Medan perang yang ada tapi tak disadari keberadaannya oleh kebanyakan manusia gendeang perang telah dipukul dalam medan yang namanya “Ghoswul Fikr” (baca: Perang pemikiran).

Tak heran berbagai pemikiran telah tersebar di medan perang tersebut laksana dari senjata-senjata perengut nyawa. Isu sekularisasi, kapitalisasi, liberalisasi, pluralisasi, dan sosialisasi bahkan momunisasi telah menyusup ke dalam sendi-sendi dasar pemikiran kita yang murni. Ia menjadi virus ganas yang sulit terditeksi oleh kacamata pemikiran Islam. Hijrah fikriyah menjadi sangat penting mengingat kemungkinan besar pemikiran kita telah terserang virus ganas tersebut. Mari kita kembali mengkaji pemikiran-pemikiran Islam yang murni. Pemikiran yang telah disampaikan oleh Baginda Nabi Muhammad Saw, melalui para sahabat tabi’in, tabi’it, tabi’in dan para generasi pengikut shalaf.

“Rasulullah Saw bersabda: Umatku niscaya akan mengikuti sunan (budaya, pemikiran, tradisi, gaya hidup) orang-orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sehasta-demi sehasta, sehingga mereka masuk ke lubang biawak pasti umatku mengikuti mereka. Para sahabat bertanya: Ya Rasulullah apaakh mereka itu orang-orang Yahudi dan Nasrani ? Rasulullah menjawab: Siapa lagi kalau bukan mereka.

c. Hijrah Syu’uriyyah
Syu’uriyah atau cita rasa, kesenangan, kesukaan dan semisalnya, semau yang ada pada diri kita sering terpengaruhi oleh nilai-nilai yang kuarng Islami Banyak hal seperti hiburan, musik, bacaan, gambar/hiasan, pakaian, rumah, idola semua pihak luput dari pengaruh nilai-nilai diluar Islam. Kalau kita perhatikan, hiniran dan musik seorang muslim takjauh beda dengan hiburannya para penganut paham permisifisme dan hedonisme, berbau hutra-hura dan senang-senang belaka.

Mode pakain juga tak kalah pentingnya untuk kita hiraukan Hijrah dari pakaian gaya jahiliyah menuju pakaian Islami, yaitu pakaian yang benar-benar mengedepankan fungsi bukan gaya. Apa fungsi pakaian ? Tak lain hanyalah untuk menutup aurat, bukan justru memamerkan aurat. Ironis memang banyak diantara manusia berpakaian tapi aurat masih terbuka. Ada yang sudah tertutup tapi ketat dan transparan, sehingga lekuk tubuhnya bahkan warna kulitnya terlihat. Konon, umat Islam dimanjakan oleh budaya barat dengan 3 f, food, fan, fashan.

d. Hijrah Sulukiyyah
Suluk berarti tingkah laku atau kepribadian atau biasa disebut juag akhlaq. Dalam perjalanannya ahklaq dan kepribadian manusia tidak terlepas dari degradasi dan pergeseran nilai. Pergeseran dari kepribadian mulai (akhlaqul karimah) menuju kepribadian tercela akhlaqul sayyi’ah). Sehingga tidak aneh jika bermuculan berbagai tindak moral dan asusila di masyarakat. Pencurian, perampokan, pembunuhan, pelecehan, pemerkosaan, penghinan dan penganiyaan seolah-olah telah menjadi biasa dalam masyarakat kita. Penipuan, korupsi,, prostitusi dan manipulasi hampir bisa ditemui di mana-mana. Dalam moment hijrah ini, sangat tepat jika kita mengkoreksi akhlaq dan kepribadian kita untuk kemudian menghijrahkan akhlaq yang mulia.

Refleksi   
Dengan telah berakhirnya tahun 1431 H dan tibanya tahun 1433 H, serta sebentar lagi akan segera pergantian tahun masehi dari 2011, suatu hal yang pasti bahwa usia kita bertambah dan jatah usia kita semakin berkurang. Sudah selayaknya kita menghisab drii sebelum dihisab oleh Allah. Rasulullah Saw bersabda:
“Hisablah (lakukan perhitungan atas) dirimu sebelum dihisab oleh Allah, dan lakukanlah kalkulasi amal baik dan amal burk sebelum Allah memberikan kalkulasi amal atas dirimu.

Apakah kehidupan kita banyak diisi dengan beribadah atau bermaksiat ? Apakah kita banyak mematuhi ajaran Allah ataukah banyak melanggar  atauran Allah ? Apakah kita ini termasuk orang yang menunaikan shalat fardlu atau malah lalai dalam menunaikan shalat fardlu ? Apakah diri kita ini termasuk golongan orang – orang ynag celaka mendapat siksa neraka ? Rasulullah bersabda :

Utsman bin Hasan bin Ahmad As-Syakir mengatakan:

“Tanda-tanda orang yang akan mendapatkan kecelakaan di akherat kelak ada empat perkara:

1. Terlalu mudah melupakan dosa yang diperbuatnya, padahal dosa itu tercatat di sisi Allah.
    Orang yang mudah melupakan dosa ia akan malas bertobat dan mudah mengerjakan dosa kembali.

2. Selalu mengingat (dan membanggakan) atas jasanya dan amal shalihnya, padahal ia sendiri tidak
   yakin apakah amal tersebut diterima Allah atau tidak. Orang selalu mengingat jasanya yag sudah lewat
  ia akan takabur dan malas untuk berbuat kebajikan kembali di ahri-hari berikutnya.

3. Selalu melihat ke atas dalam urusan dunia. Artinya ia mengagumi sukses yang dialami orang lain dan
   selalu berkeinginan untuk mengejar sukses orang tersebut. Sehingga hidupnya selalu merasa kekurangan.

4. Selalu melihat ke bawah dalam urusan agama. Akibat ia akan merasa puas dengan amalnya selama
   ini, sebab ia hanya membandingkan amalnya dengan amal orang lain di bawah dia.

Keutamaan dan Hikmah Bersabar


Sabar merupakan sebuah ilmu tingkat tinggi yang tidak semua orang mampu menguasainya. Sabar akan memberikan rasa nyaman, bahagia, dan gembira kepada orang yang telah menguasainya. Ada banyak sekali hadist dan ayat yang membahas tentang sabar dan tercantum dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Sabar secara etimologi, sabar (ash-shabar) berarti menahan dan mengekang (al-habs wa al-kuf). Secara terminologis sabar berarti menahan diri dari segala sesuatu yang tidak di sukai karena mengharap ridha Allah.Yang tidak di sukai itu tidak selamanya terdiri dari hal-hal yang tidak di senangi seperti musibah kematian, sakit, kelaparan dan sebagainya, tapi juga bisa berupa hal-hal yang di senangi. Sabar dalam hal ini berarti menahan dan mengekang diri dari memperturutkan hawa nafsu.

Dalam islam dijelaskan bahwa yang di maksud sabar ialah menahan diri dalam menanggung suatu penderitaan,baik dalam menemukan sesuatu yang tidak di ingini ataupun dalam bentuk kehilangan sesuatu yang disenangi. Imam Al-ghazali mengatakan bahwa sabar adalah suatu kondisi mental dalam mengendalikan nafsu yang tumbuhnya atas dorongan ajaran islam.

Dengan kata lain sabar ialah tetap tegaknya dorongan agama berhadapan dengan dorongan hawa nafsu.dorongan agama ialah hidayah Allah kepada manusia untuk mengenal Allah, Rasul serta mengamalkan ajaran-Nya. Sedangkan dorongan hawa nafsu ialah tuntutan syahwat dan keinginan-keinginan rendah yang minta di laksanakan. Barang siapa yang tegak bertahan sehingga dapat menundukkan dorongan hawa nafsu secara terus menerus maka orang tersebut termasuk golongan orang yang sabar.

Tingkatan Sabar :

Berpijak dari pengertian sabar menurut Al-Ghazali di atas,maka upaya manusia untuk bersabar dapat di golongkan dalam tiga tingkatan,yaitu:
  1. Orang yang sanggup mengalahkan hawa nafsunya, karena mempunyai daya juang dan kesabaran yang tinggi.
  2. Orang yang kalah oleh hawa nafsunya.
  3. Orang yang mempunyai daya tahan terhadap dorongan nafsu, tetapi suatu ketika ia kalah, karena besarnya dorongan nafsu. Meskipun demikian, ia bangun lagi dan terus tetap bertahan dengan sabar atas dorongan nafsu tersebut.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ad-Dunia, Nabi Muhammad Shallallahu'Alaihi Wasallam membagi sabar menjadi tiga tingkatan,yaitu
  1. Kesabaran dalam menghadapi musibah
  2. Kesabaran dalam mematuhi perintah Allah Subhannahu Wa Ta'ala, dan
  3. Kesabaran diri untuk tidak melakukan maksiat.
Macam-Macam Sabar:
  1. Sabar menerima cobaan hidup. Cobaan hidup, baik fisik maupun non fisik, akan menimpa semua orang baik berupa lapar, haus, sakit, rasa takut, kehilangan orang-orang yang di cintai, kerugian harta benda dan lain sebagainya. Cobaan seperti itu bersifat alami, manusiawi, oleh sebab itu tidak ada seorang pun yang dapat menghindar.Yang diperlukan adalah menerimanya dengan penuh kesabaran, seraya memulangkan segala sesuatunya kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala.
  2. Sabar dari Keinginan Hawa Nafsu. Hawa nafsu menginginkan segala macam kenikmatan hidup,kesenangan dan kemegahan dunia. Untuk mengendalikan segala keinginan itu di butuhkan kesabaran. Jangan sampai semua kesenangan hidup dunia itu membuat orang lupa diri apa lagi lupa Allah Subhannahu wa Ta'ala.
  3. Sabar Dalam Taat Kepada Allah Subhannahu Wa Ta'ala Dalam menaati perintah Allah, terutama dalam beribadah kepada-Nya di perlukan kesabaran.
  4. Sabar Dalam Berdakwah .Jalan dakwah adalah jalan panjang berliku-liku yang penuh dengan segala onak dan duri. Seseorang yang melalui jalan ini harus memiliki kesabaran.^^
  5. Sabar Dalam Perang.Dalam peperangan sangat di perlukan kesabaran, apalagi menghadapi musuh yang lebih banyak atau lebih kuat. Dalam keadaan terdesak sekali pun, seorang prajurit Islam tidak boleh lari meninggalkan medan perang, kecuali sebagai bagian dari siasat perang ( QS. Al-Anfal 15-16 ).
  6. Sabar Dalam Pergaulan. Dalam pergaulan sesama manusia baik antara suami isteri, antara orang tua dengan anak, antara tetangga dengan tetangga, antara guru dan murid, atau dalam masyarakat yang lebih luas, akan ditemui hal-hal yang tidak menyenangkan atau menyinggung perasaan. Oleh sebab itu dalam pergaulan sehari-hari di butuhkan kesabaran sehingga tidak cepat marah, atau memutuskan hubungan apabila menemui hal-hal yang tidak di sukai.
Keutamaan Sabar

Sifat sabar dalam Islam menempati posisi yang istimewa. Al-Qur’an mengaitkan sifat sabar dengan bermacam-macam sifat mulia lainnya. Antara lain di kaitkan dengan keyakinan, syukur, tawakkal, dan taqwa.mengaitkan satu sifat dengan banyak sifat mulia lainnya menunjukkan betapa istimewanya sifat itu. Karena sabar merupakan sifat mulia yang istimewa, tentu dengan sendirinya orang-orang yang sabar juga menempati posisi yang istimewa.

Sifat sabar memang sangat di butuhkan sekali untuk mencapai kesuksesan dunia dan akhirat. Seorang mahasiswa tidak akan berhasil mencapai gelar kesarjanaan tanpa sifat sabar dalam belajar. Seorang peneliti tidak akan dapat menemukan penemuan-penemuan ilmiah tanpa ada sifat sabar dalam penelitiannya.

Imbalan Orang Yang Sabar
  1. Dapat berdampingan dengan Allah
  2. Memperoleh berita yang menyenangkan
  3. Bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak berdosa
  4. Di beri pahala yang berlipat
  5. Terbebaskan dari siksa api neraka
  6. Di cintai oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala.
Allah Ta’ala berfirman:


يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negeri kalian) dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian beruntung.” (Aali ‘Imraan:200)

Dan Allah Ta’ala berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأَمْوَالِ وَالأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah:155)

Dan Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Az-Zumar:10)
Dan Allah Ta’ala berfirman:

وَلَمَنْ صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَلِكَ لَمِنْ عَزْمِ الأُمُورِ

“Tetapi orang yang bersabar dan mema`afkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.” (Asy-Syuuraa:43)

Dan Allah Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah:153)

Dan Allah Ta’ala berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ

“Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kalian agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar diantara kalian.” (Muhammad:31)

Dan ayat-ayat yang memerintahkan sabar dan menerangkan keutamaannya sangat banyak dan dikenal.

Pengertian dan Jenis-jenis Sabar

Ash-Shabr (sabar) secara bahasa artinya al-habsu (menahan), dan diantara yang menunjukkan pengertiannya secara bahasa adalah ucapan: “qutila shabran” yaitu dia terbunuh dalam keadaan ditahan dan ditawan. Sedangkan secara syari’at adalah menahan diri atas tiga perkara: yang pertama: (sabar) dalam mentaati Allah, yang kedua: (sabar) dari hal-hal yang Allah haramkan, dan yang ketiga: (sabar) terhadap taqdir Allah yang menyakitkan.

Inilah macam-macam sabar yang telah disebutkan oleh para ‘ulama.

Jenis sabar yang pertama: yaitu hendaknya manusia bersabar terhadap ketaatan kepada Allah, karena sesungguhnya ketaatan itu adalah sesuatu yang berat bagi jiwa dan sulit bagi manusia. Memang demikianlah kadang-kadang ketaatan itu menjadi berat atas badan sehingga seseorang merasakan adanya sesuatu dari kelemahan dan keletihan ketika melaksanakannya. Demikian juga padanya ada masyaqqah (sesuatu yang berat) dari sisi harta seperti masalah zakat dan masalah haji.

Yang penting, bahwasanya ketaatan-ketaatan itu padanya ada sesuatu dari masyaqqah bagi jiwa dan badan, sehingga butuh kepada kesabaran dan kesiapan menanggung bebannya, Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negeri kalian) dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian beruntung.” (Aali ‘Imraan:200)

Allah juga berfirman
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاَةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا

“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (Thaahaa:132)

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْءَانَ تَنْزِيلاً(23) فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Qur’an kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur. Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu.” (Al-Insaan:23-24)

Ayat ini menerangkan tentang sabar dalam melaksanakan perintah-perintah, karena sesungguhnya Al-Qur`an itu turun kepadanya agar beliau (Rasulullah) menyampaikannya (kepada manusia), maka jadilah beliau orang yang diperintahkan untuk bersabar dalam melaksanakan ketaatan.


Hikmah dan Keutamaan Wudhu

Wudhu’ merupakan suatu amalan yang kerap kali kita lakukan. Tata caranya cukup ringkas dan praktis. Namun mengandung keutamaan yang besar. Sehingga tidak boleh kita memandangnya dengan sebelah mata. Karena seluruh syari’at yang dibawa oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam terkandung padanya hikmah dan manfa’at. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Sesungguhnya Allah tidak akan menganiaya (siapa pun) walau menzhalimi sekecil dzarrah (sekecil apapun), dan jika ada kebajikan walau sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan pahala yang besar.” (An Nisaa': 40)
Seperti halnya dengan wudhu’, meski amalan ini terkesan ringan dan ringkas, tetapi memiliki keutamaan yang besar tiada tara. Sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala janjikan pada ayat diatas. Berikut ini kami sebutkan beberapa keutamaan wudhu’, diantaranya:

1. Pembersih dari Noda-Noda Dosa dan Penambah Amal Kebajikan
Perlu kita sadari, bahwa manusia itu bukanlah makhluk yang sempurna, bahkan Allah subhanahu wata’ala sebagai Sang Khaliq (Pencipta) mensifati manusia dengan sifat yang sering lalai dan bodoh, sehingga sering terjatuh dalam perbuatan dosa dan kezhaliman. Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala (artinya):
“Sesungguhnya manusia itu amat aniaya (zhalim) dan amat bodoh.” (Al Ahzab: 72) Ditegaskan pula dalam hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, dari sahabat Anas bin Malik:

كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Setiap anak cucu Adam pasti selalu melakukan kesalahan. Dan sebaik-baik mereka yang melakukan kesalahan adalah yang selalu bertaubat kepada-Nya.” (HR Ahmad, Ibnu Majah, dan Ad Darimi)
Akan tetapi, dengan rahmat Allah subhanahu wata’ala yang amat luas, Allah subhanahu wata’ala memberikan solusi yang mudah untuk membersihkan diri dari noda-noda dosa diantaranya dengan wudhu’. Hingga ketika seseorang selesai dari wudhu’ maka ia akan bersih dari noda-noda dosa tersebut.
Dari shahabat Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Apabila seorang muslim atau mukmin berwudhu’ kemudian mencuci wajahnya, maka akan keluar dari wajahnya tersebut setiap dosa pandangan yang dilakukan kedua matanya bersama air wudhu’ atau bersama akhir tetesan air wudhu’. Apabila ia mencuci kedua tangannya, maka akan keluar setiap dosa yang dilakukan kedua tangannya tersebut bersama air wudhu’ atau bersama akhir tetesan air wudhu’. Apabila ia mencuci kedua kaki, maka akan keluar setiap dosa yang disebabkan langkah kedua kakinya bersama air wudhu’ atau bersama tetesan akhir air wudhu’, hingga ia selesai dari wudhu’nya dalam keadaan suci dan bersih dari dosa-dosa.” (HR Muslim no. 244).
Subhanallah… sebuah rahmat dan kasih sayang yang sangat besar tiada tara yang diberikan Sang Rabbul ‘Alamin kepada para hamba-Nya.

2. Anggota Wudhu’ Akan Bercahaya Pada Hari Kiamat
Pada hari kiamat nanti, umat Nabi Muhammad Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam akan terbedakan dengan umat yang lainnya dengan cahaya yang nampak pada anggota wudhu’. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ أُمَّتِي يُدْعَوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ آثَارِ الْوُضُوءِ
“Sesungguhnya umatku akan dipanggil pada hari kiamat nanti dalam keadaan dahi, kedua tangan dan kaki mereka bercahaya, karena bekas wudhu’.” (HR. Al Bukhari no. 136 dan Muslim no. 246)
dalam riwayat yang lain:
Bagaimana engkau mengenali umatmu setelah sepeninggalmu, wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam Seraya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Tahukah kalian bila seseorang memilki kuda yang berwarna putih pada dahi dan kakinya diantara kuda-kuda yang yang berwarna hitam yang tidak ada warna selainnya, bukankah dia akan mengenali kudanya? Para shahabat menjawab: “Tentu wahai Rasulullah.” Rasulullah berkata: “Mereka (umatku) nanti akan datang dalam keadaan bercahaya pada dahi dan kedua tangan dan kaki, karena bekas wudhu’ mereka.” (HR. Mslim no. 249)
Dalam hadits diatas menjelaskan bahwa umat Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam yang akan bercahaya nanti pada hari kiamat itu disebabkan karena amalan wudhu’. Tentunya, siapa yang tidak pernah berwudhu’, maka bagaimana mungkin dia akan bercahaya yang dengan tanda itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam akan mengenali sebagai umatnya?

3. Mengangkat Derajat Disisi Allah subhanahu wata’ala
Semulia-mulia derajat adalah derajat yang tinggi disisi Allah subhanahu wata’ala. Adapun seseorang yang meraih derajat tinggi dihadapan manusia itu belum tentu ia berada pada derajat tinggi disisi Allah subhanahu wata’ala. Maka dengan wudhu’ yang sempurna akan dapat mengangkat derajat yang tinggi disisi Allah subhanahu wata’ala. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Maukah kalian aku tunjukkan suatu amalan yang dengannya Allah akan menghapus dosa-dosa dan mengangkat derajatnya! Para shahabat berkata: “Tentu, wahai Rasulullah. Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Menyempurnakan wudhu’ walaupun dalam kondisi sulit, memperbanyak jalan ke masjid, dan menunggu shalat setelah shalat, maka itulah yang disebut dengan ar ribath.” (HR. Muslim no. 251)
Selain wudhu’ memiliki keutamaan yang besar, wudhu’ juga memilki peranan dan pengaruh penting pada amalan yang lainnya.
Coba perhatikan pada shalat lima waktu atau shalat sunnah lainnya yang kita kerjakan! Tidak akan sah shalat jika tanpa berwudhu’ terlebih dahulu. Karena wudhu’ merupakan salah satu syarat sahnya shalat. Sebagaiamana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Tidaklah Allah menerima shalat seseorang apabila ia berhadats hingga dia berwudhu’.” (HR Al Bukhari no 135 dan Muslim no 225 dari sahabat Abu Hurairah)
Demikian pula ijma’ (kesepakatan) para ‘ulama bahwasanya shalat tidak boleh ditegakkan kecuali dengan berwudhu’ terlebih dahulu, selama tidak ada udzur untuk meninggalkan wudhu’ tersebut (Al Ausath 1/107).
Berikut ini akan kami paparkan beberapa waktu disunnahkan (dianjurkan) untuk berwudhu’. Dengan ini kita akan mengetahui betapa tinggi peranan dan pengaruh dari sebuah amalan wudhu’. Sehingga kita tidak menganggapnya enteng. Diantara waktu yang disunnahkan untuk berwudhu’, yaitu:

1. Berwudhu’ Ketika Hendak Pergi ke Masjid
Termasuk sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berwudhu’ sebelum berangkat shalat berjama’ah ke masjid. Yang memiliki pengaruh (nilai) yang lebih dibanding tidak berwudhu’ sebelumnya. Yaitu Allah subhanahu wata’ala menjadikan barakah pada setiap langkah kaki kanan maupun kiri berupa pengahusan dosa dan penambahan pahala. Sebagaimana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Apabila seorang dari kalian berwudhu’, lalu ia menyempurnakan wudhu’nya, kemudian ia pergi ke masjid karena semata-mata hanya untuk melakukan shalat, maka tidaklah ia melangkahkan kaki kirinya melainkan terhapus kejelekan darinya dan dituliskan kebaikan bersama langkah kaki kanannya hingga masuk masjid.” (HR. Ath Thabrani dalam Al Mu’jam Al Kabir dari shahabat Ibnu Umar dan dishahihkan Asy Syaikh Al Albani dalam Shahih Al Jami’ no. 454)

2. Menyentuh Mushaf Al Qur’an
Al Qur’an adalah kalamullah (firman Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai kitab suci umat Islam. Dalam rangka memulikan Al Qur’an sebagai kalamullah (firman Allah) maka disunnhakan berwudhu’ sebelum memegang kitab suci Al Qur’an ini. Al Imam Ath Thabrani dan Al Imam Ad Daraquthni meriwayatkan hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dari shahabat Hakim bin Hizam radhiallahu ‘anhu:
لاَتَمُسُّ القُرآنَ إِلاَّ وَأَنْتَ طَاهِرٌ
“Janganlah kamu menyentuh Al Qur’an kecuali dalam keadaan suci”.
Bagaimana jika hanya membacanya saja tanpa menyentuhnya, apakah hal ini juga disunnahkan (dianjurkan) oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam? Ya, hal itu disunnahkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana sabdanya:
“Sesungguhnya aku tidak menyukai berdzikir kepada Allah kecuali dalam keadaan suci.” (HR. Abu Daud dan An Nasa’i dari sahabat Ibnu Umar dan dishahihkan Asy Syaikh Al Albani).
Tentunya, membaca Al Qur’an adalah semulia-mulia dzikir kepada Allah subhanahu wata’ala.

3. Berwudhu’ Ketika Hendak Tidur
Termasuk sunnah Rasulullah adalah berwudhu’ sebelum tidur. Hal ini bertujuan agar setiap muslim dalam kondisi suci pada setiap kedaannya, walaupun ia dalam keadaan tidur. Hingga bila memang ajalnya datang menjemput, maka diapun kembali kehadapan Rabb-Nya dalam keadaan suci.
Dan sunnah ini pun akan mengarahkan pada mimpi yang baik dan terjauhkan diri dari permainan setan yang selalu mengincarnya. (Lihat Fathul Bari 11/125 dan Syarah Shahih Muslim 17/27)
Tentang sunnah ini, Rasulullah telah menjelaskan dalam sabda beliau yang diriwayatkan dari sahabat Al Barra’ bin ‘Azib, bahwasanya beliau berkata:
“Apabila kamu mendatangi tempat tidurmu, maka berwudhu’lah sebagaimana wudhu’mu untuk shalat.” (HR. Al Bukhari no. 6311 dan Muslim no. 2710)
Lebih jelas lagi, dari riwayat shahabat Mu’adz bin Jabal, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidaklah seorang muslim tidur di malam hari dalam keadaan dengan berdzikir dan bersuci, kemudian ketika telah terbangun dari tidurnya lalu meminta kepada Allah kebaikan dunia dan akhirat, melainkan pasti Allah akan mengabulkannya.” (Fathul Bari juz 11/124)
Demikianlah sunnah yang selalu dijaga oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ketika hendak tidur, yang semestinya kita sebagai muslim meneladaninya. Bahkan ketika beliau terbangun dari tidurnya untuk buang hajat, maka setelah itu beliau berwudhu’ lagi sebelum kembali ke tempat tidurnya. Sebagaimana yang diceritakan Abdullah Bin Abbas radhiallahu ‘anhuma:
“Bahwasanya pada suatu malam Rasulullah pernah terbangun dari tidurnya untuk menunaikan hajat. Kemudian beliau membasuh wajah dan tangannya (berwudhu’) lalu kembali tidur.” (HR. Al Bukhari no. 6316 dan Abu Dawud no. 5043 dan dishahihkan Asy Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 4217)

4. Berwudhu’ Ketika Hendak Berhubungan Dengan Istri
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam juga memberikan bimbingan bagi para pasutri (pasangan suami istri) ketika hendak bersetubuh. Hendaknya bagi pasutri berdo’a sebelum melakukannya, dengan doa’ yang telah diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:
بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا
“Dengan menyebut nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkan (gangguan) setan terhadap apa yang Engkau rezikan kepada kami.” (HR. Al Bukhari no. 141)
Kemudian ketika sudah usai dan ingin mengulanginya lagi maka hendaknya keduanya berwudhu’ terlebih dahulu. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila seseorang telah berhubungan denga istrinya, kemudia ingin mengulanginya lagi maka hendaklah berwudhu’ terlebih dahulu.” (HR. Muslim no 308, At Tirmidzi, Ahmad dari Abu Sa’id Al Khudri dan dishahihkan Asy Syaikh Al Albani dalam Ats Tsamarul Mustathob hal.5)
Dengan tujuan agar setan tidak ikut campur dalam acara yang sakral ini dan bila dikarunia anak, maka setan tidak mampu memudharatkannya.
Para pembaca, bila kita baca biografi para ‘ulama, maka kita dapati mereka amat bersungguh-sungguh menjaga wudhu’nya dalam setiap keadaan. Sebagai contoh, Al Imam Asy Syathibi. Beliau adalah seorang yang buta, akan tetapi tidaklah beliau duduk disuatu majlis ilmu, kecuali beliau selalu dalam keadaan suci. Bahkan diantara ‘ulama ada yang tidak mau membaca hadits-hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam hingga mereka berwudhu’ terlebih dahulu. Bukan karena mereka berpendapat wajibnya berwudhu’ ketika hendak membaca hadits, akan tetapi yang mendasari hal itu adalah kesungguhan mereka untuk memuliakan ilmu dan untuk mendapatkan keutamaan yang besar dalam wudhu’.

Akhir kata, wudhu’ bukanlah amalan yang remeh bahkan amalan yang besar disisi Allah subhanahu wata’ala. Sehingga mendorong kita untuk selalu dalam kondisi suci (berwudhu’) dan berupaya bagaimana berwudhu’ dengan sempurna yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Maka ikutilah pada edisi-edisi mendatang yang insya Allah akan menampilkan sebuah tema menarik tentang taca cara wudhu’ yang sesuai dengan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

Hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya



Di dalam Risalah Tabukiyah, Imam Ibnul Qoyyim membagi hijrah menjadi 2 macam. Pertama, hijrah dengan hati menuju Alloh dan Rosul-Nya. Hijrah ini hukumnya fardhu ‘ainbagi setiap orang di setiap waktu. Macam yang kedua yaitu hijrah dengan badan dari negeri kafir menuju negeri Islam. Diantara kedua macam hijrah ini hijrah dengan hati kepada Alloh dan Rosul-Nya adalah yang paling pokok.

Hijrah Dengan Hati Kepada Alloh

Alloh berfirman, “Maka segeralah (berlari) kembali mentaati Alloh.” (Adz Dzariyaat: 50)
Inti hijrah kepada Alloh ialah dengan meninggalkan apa yang dibenci Alloh menuju apa yang dicintai-Nya. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim ialah orang yang kaum muslimin lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Dan seorang muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Alloh.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Hijrah ini meliputi ‘dari’ dan ‘menuju’: Dari kecintaan kepada selain Alloh menuju kecintaan kepada-Nya, dari peribadahan kepada selain-Nya menuju peribadahan kepada-Nya, dari takut kepada selain Alloh menuju takut kepada-Nya. Dari berharap kepada selain Alloh menuju berharap kepada-Nya. Dari tawakal kepada selain Alloh menuju tawakal kepada-Nya. Dari berdo’a kepada selain Alloh menuju berdo’a kepada-Nya. Dari tunduk kepada selain Alloh menuju tunduk kepada-Nya. Inilah makna Alloh, “Maka segeralah kembali pada Alloh.” (Adz Dzariyaat: 50). Hijrah ini merupakan tuntutan syahadat Laa ilaha illalloh.

Hijrah Dengan Hati Kepada Rosululloh

Alloh berfirman, “Maka demi Robbmu (pada hakikatnya) mereka tidak beriman hingga mereka menjadikanmu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan di dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An Nisaa’: 65)
Hijrah ini sangat berat. Orang yang menitinya dianggap orang yang asing diantara manusia sendirian walaupun tetangganya banyak. Dia meninggalkan seluruh pendapat manusia dan menjadikan Rosululloh sebagai hakim di dalam segala perkara yang diperselisihkan dalam seluruh perkara agama. Hijrah ini merupakan tuntutan syahadat Muhammad Rosululloh.

Pilihan Alloh dan Rosul-Nya itulah satu-satunya pilihan

Alloh berfirman, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al Ahzab: 36)
Dengan demikian seorang muslim yang menginginkan kecintaan Alloh dan Rosul-Nya tidak ragu-ragu bahkan merasa mantap meninggalkan segala perkara yang melalaikan dirinya dari mengingat Alloh. Dia rela meninggalkan pendapat kebanyakan manusia yang menyelisihi ketetapan Alloh dan Rosul-Nya walaupun harus dikucilkan manusia.

Seorang ulama’ salaf berkata, “Ikutilah jalan-jalan petunjuk dan janganlah sedih karena sedikitnya pengikutnya. Dan jauhilah jalan-jalan kesesatan dan janganlah gentar karena banyaknya orang-orang binasa (yang mengikuti mereka).

Cara Muhasabah Diri



Kehancuran hati itu disebabkan meremehkan muhasabah dan mengikuti hawa nafsu. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan lain-lain, dia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihiwasallam bersabda,
‘Orang yang cerdas adalah orang yang menundukkan hawa nafsunya dan beramal untuk persiapan sesudah mati, dan orang lemah adalah orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan untuk (diselamatkan) Allah.’1
Kata “Dana nafsahu” bermakna juga mengintrospeksi dirinya.
Imam Ahmad menyebutkan riwayat, dari Umar bin al-Khathab Rhadiyallahu’anhu, dia berkata,
‘Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, dan timbanglah (amal-amal) diri kalian sebelum kalian ditimbang, karena sesungguhnya hal itu dapat meringankan kalian atas hisab di Hari Kemudian, disebabkan hisab kalian saat ini. Dan berhiaslah (persiapan diri) kalian untuk hari penghadapan yang terbesar.’ (HR. at-Tirmidzi).
Muhasabah terbagi menjadi dua macam, yang pertama harus dilakukan sebelum beramal, dan kedua harus dilakukan sesudah beramal.

Muhasabah sebelum beramal

Ini maksudnya ketika orang ingin memulai suatu pekerjaan dan hendak mengawalinya, hendaklah mempertimbangkan hingga benar-benar jelas keutamaannya daripada meninggalkannya.
Allah Subhaanahu wata’ala merahmati seorang hamba yang merenung sejenak ketika berkeinginan (melakukan sesuatu), bila hal itu karena Allah Subhaanahu wata’ala, maka dia menjalaninya, tetapi bila karena selain-Nya maka dia harus meninggalkannya.
Sebagian ulama menjelaskan hal ini bahwa bila jiwa mulai bergerak untuk mengerjakan suatu pekerjaan, dan hamba mulai berkehendak, maka seharusnya dia merenung sejenak dan berpikir, apakah perbuatan itu dapat dilakukannya atau ia berada di luar kemampuannya? Bila amal itu tidak dapat dilakukannya, maka dia akan mundur darinya. Dan bila amal itu dapat dilakukannya, maka dia masih berpikir lagi dan merenung, apakah melakukannya adalah lebih baik baginya daripada meninggalkannya, ataukah meninggalkannya adalah lebik baik baginya daripada melakukannya?
Bila pilihan kedua lebih kuat, maka dia harus menghentikan dirinya dan tidak melanjutkan rencananya. dan jika pilihan pertama yang lebih kuat, maka dia harus merenung dan berpikir lagi untuk ketiga kalinya: apakah faktor pendorongnya adalah kehendak mendapatkaan ridha Allah, dan pahala dari-Nya ataukah faktor pembangkitnya hanyalah ambisi meraih kehormatan, pujian, dan harta benda dari makhluk? Bila pembangkitnya adalah yang kedua, maka dia tidak boleh meneruskan dan melakukannya, walaupun jalan terbuka baginya untuk mendapatkan sasaran dan tujuannya.
Bila faktor pendorongnya adalah yang pertama yaitu keinginan mendapatkan ridha Allah, maka orang harus merenung sekali lagi dan berpikir apakah dia membutuhkan rekan penolong untuk melakukannya atau tidak? Dan apakah dia memiliki orang-orang yang akan menolongnya bila dia membutuhkan pertolongan?
Bila ternyata dia tidak memiliki orang-orang yang menolongnya, maka dia harus berhenti dan menunda dulu sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihiwasallam mengulur jihad di Makkah hingga beliau mendapatkan kekuatan dan penolong. Dan bila dia memperoleh penolong, maka hendaklah dia terus maju karena dia pasti dimenangkan. Dan keberhasilan tidak akan terlepas melainkan bila salah satu persyaratannya tidak terpenuhi. Kalau terpenuhi pasti keberhasilan akan dicapai.
Inilah empat derajat di mana orang perlu untuk memuhasabah dirinya sebelum dia beramal. Karena tidak setiap perkara yang diinginkan oleh seorang hamba adalah dalam kemampuannya, dan tidak semua yang beada dalam kesanggupannya adalah lebih baik baginya untuk dilakukan daripada ditinggalkannya. Dan tidak semua yang lebih baik untuk dilakukan daripada ditinggalkannya adalah dia lakukan demi Allah. Dan tidak semua yang diperbuatnya demi Allah adalah menjadi penolong baginya.
Bila orang telah melakukan muhasabah demikian, maka menjadi jelaslah baginya, mana yang baik untuk dilakukannya dan mana yang harus ditinggalkannya.

Muhasabah sesudah beramal

Imam Ibnul Qayyim menjabarkan Muhasabah yang kedua yaitu dilakukan setelah beramal, yang terbagi menjadi tiga macam, diantaranya:
  1. Muhasabah jwa atas ketaatan yang telah kurang sempurna dalam menyempurnakan hak Allah Subhaanahu wata’ala, sehingga dia tidak melaksanakannya sesuai dengan yang sepantasnya.
  2. Menghisab diri sendiri atas segala amal yang mana meninggalkannya adalah lebih baik daripada mengerjakannya.
  3. Menghisab diri sendiri atas amal yang mubah atau biasa dilakukan, kenapa dia melakukannya? Apakah dia melakukan hal itu untuk mendapatkan ridha Allah dan kehidupan akhirat? Kalau demikian, maka dia telah beruntung. Atau apakah dia melakukan hal itu untuk kehidupan dunia dan kehidupan yang segera? Kalau demikian dia telah merugi dengn kerugian yang nyata, tidak beruntung dan memenangkan ridha Alllah.”

Akibat meninggalkan Muhasabah

Apakah akibat bagi orang-orang yang tidak memuhasabah dirinya?
Imam Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa orang yang tidak melakukan muhasabah dan menggampangkan masalah, akan banyak tergantung kepada ampunan Allah.
Inilah kondisi kaum yang tertipu, dia menutupkan kedua matanya dari akibat amal perbuatannya, sehingga dia tetap senantiasa pada sesuatu yang dikerjakannya, dan bergantung kepada ampunan Allah, sehingga dia meremehkan muhasabah diri dan melihat akibat yagn ditimbulkannnya.
Dan bila dia melakaukan hal itu, maka dia akan mudah melakukan dosa, akrab dan senang dengan dosa, dan sulit menghentikan diri darinya. Seandainya petuntuk datang kepadanya, maka dia pasti menyadari bahwa menjaga diri dan menhindarkan diri adalah lebih mudah, daripada menghentikan sesuatu yang telah terbiasa dilakukan dan merupakan adat.

1 HR. at-Tirmidzi no. 2459; Ibnu Majah no. 3260; Ibnu al-Mubarak dalam Kitab az-Zuhud no. 71; Ath-Thayalisi hal. 153; Ahmad 4/124; dan lain-lain dari hdits Syaddad bin Aus. Di dalam sanadnya terdapat Abu Bakar bin Abi Maryam al-Ghassani. Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah, Abu Hatim, an-Nasa’i, ad-Daruquthni, dan Ibnu Sa’ad berkata, “Hadits dhaif.

Menata Ikhlas Meraih Bahagia

Sahabat, setiap manusia pasti menginginkan kehidupan yang bahagia, menikmati hidup ini tanpa merasa terbebani oleh berbagai masalah. dan hal ini hanya akan dirasakan orang yang sungguh-sungguh berupaya ikhlas, menjaga setiap amalnya, baik amal ibadah maupun amal shalih dalam kehidupan bermasyarakatnya, hanya bagi Allah.
Tidak terbersit keinginan untuk dipuji, dihargai, dihormati makhluk. Ringan saja ketika melakukan sesuatu, yang penting baginya adalah ridaha dan berkah Allah. Ia tahu bahwa tugasnya di dunia ini hanya dua, pertama luruskan niat selalu, hanya demi meraih cinta Allah, lalu selanjutnya ia harus menyempurnakan ikhtiar agar hasil yang diharapkan betul-betul optimal, terbaik yang dapat dipersembahkannya.
Sehingga ia tidak perduli dengan penghargaan orang lain, ia tetap bersemangat beramal shalih, baginya yang terpenting, apa yang dilakukannya mendapat ridha Allah. Rezeki baginya adalah ketika ia mampu berbuat meluruskan niat dan beramal dengan amal terbaik.
Untuk mencapai tingkatan ikhlas tertinggi, yaitu meraih ridha Allah. Menurut Imam Ali RA, ada beberapa level ikhlas, antara lain; pertama, ikhlasnya seseorang untuk meraih kebahagiaan duniawi. Ketika berdoa pun, ia berharap keinginan duniawi semata. Walaupun ini tingkatan terendah, namun lebih baik karena ia hanya meminta hanya kepada Allah saja.
Lalu, kedua, ikhlasnya seorang pedagang, ia berusaha ikhlas namun dengan menghitung-hitung pahala terlebih dahulu. Jika suatu amal banyak mendatangkan pahala, pasti ia semngat mengerjakannya. Berharap amal tersebut dapat menghapuskan dosa serta menguntungkan duniawinya.
Ketiga, ikhlasnya seorang hamba sahaya, ia takut sekali dengan ancaman Allah, sehingga ia berusaha ikhlas dalam berbuat, hanya demi Allah agar Allah tidak murka kepadanya.
Keempat, ikhlasnya orang yang berharap surga, balasan baik bagi Allah, sehingga amal yang dikerjakannya betul-betul diperuntukkan sebagai bekal hidup diakhirat kelak, agar ia meraih surga; balasan tertinggi dari Allah.
Tingkat terakhir, kelima, ikhlas tingkat tertinggi, ia pasrah dengan ketentuan Allah. baginya ia berbuat terbaik hanya demi keridhaan dan berharap cinta Allah. Ia hanya berkehendak dapat berjumpa Allah kelak, selain itu terserah Allah, ia tidak begitu peduli dengan balasan Allah. Cukup baginya cinta dan persuaan dengan Allah nanti. Subhanaallah, mudah-mudahan suatu saat kita kita dapat meraih tingkatan ikhlas tertinggi ini. Amiin.
Untuk menjadi seorang yang ikhlas pasti memerlukan latihan (riyadhah), berat memang pada awalnya, namun jika sungguh-sungguh berupaya, pasti akan berbuah keikhlasan yang tiada bandingnya dengan kehidupan dunia ini.
Cobalah mulai berusaha melupakan setiap amal yang kita lakukan, seakan-akan kita tidak pernah melakukannya. Dan jangan membeda-bedakan amal besar atau amal kecil, semua amal sama saja, upayakan berbuat terbaik dalam amal apapun juga.
Lupakan pula penghargaan dan celaan orang lain, upayakan bersikap biasa-biasa saja dengan semua yang kita lakukan. serta jangan berharap balasan berbentuk pujian, materi atau penghargaan dari orang lain, bisa jadi balasan amal itu berupa pahala atau ridha Allah, bukankah hal itu lebih baik.

Marilah kita senantiasa menata keikhlasan hati, dengan mulai mencoba berlatih dalam setiap kesempatan amal. Dengan begitu, mudah-mudahan suatu saat bahagia teraih, dunia akhirat. Aamiin.

Sentuhan Akhlak dalam Peradaban Islam


Sentuhan Akhlak dan Peradaban Islam

Akhlak dalam Peradaban Islam merupakan pagar yang membatasi sekaligus pondasi yang mendasari kejayaan Islam. Akhlak masuk dalam setiap aturan kehidupan beserta berbagai macam variasi dan perkembangannya, baik secara individu maupuan masyarakat, dan politik maupun ekonomi.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihiwasallam diutus untuk menyempurnakan akhlak, sebagaimana  sabda beliau: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Al-Hakim)”. Dalam kerangka inilah Rasulullah Shallallahu ‘alaihiwasallam diutus. Beliau ingin menyempurnakan budi pekerti mulia dalam jiwa umatnya dan seluruh manusia. Beliau menghendaki seluruh manusia supaya bermuamalah dengan akhlak baik, tidak dengan aturan yang lain.
Dalam hukum, ilmu, undang-undang, peperangan, perdamaian, ekonomi, keluarga, telah diterapkan dasar-dasar akhlak dalam peradapan Islam secara teori dan praktik yang belum pernah dicapai oleh peradaban manapun, baik peradaban zaman dulu maupun sekarang. Peradaban Islam telah meninggakan jejak yang sangat menakjubkan dan menjadikannya sebagai satu-satunya peradapan yang menjamin kebahagiaan manusia dengan kebahagian murni, tidak dicemari racun kebinasaan. [Mushthafa As-Sibai, Min Rawâi` Hadhâratinâ, hal. 37]
Sumber akhlak dalam peradapan Islam adalah wahyu. Ia merupakan nilai-nilai teguh dan teladan tinggi yang memperbaiki setiap manusia dengan memperhatikan jenis, zaman, tempat, dan lain-lain. Hal itu berbeda dengan sumber akhlak yang hanya sebatas teori manusia, yang menghandalkan akal yang terbata, atau menghandalkan hal yang sesuai dengan manusia dalam suatu masyarakat yang disebut dengan `urf (kebiasaan yang berlaku). Kebiasaan ini akan selalu berubah dan berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain, dari satu pemikiran menuju pemikiran lain.
Sumber niscaya dalam akhlak Islam adalah hadirnya perasaan manusia terhadap pengawasan Allah Subhaanahu wata’ala. Sedangkan akhlak yang berdasarkan pandangan manusia hanyalah sesuatu yang samar, atau berdasarkan panca indra, atau undang-undang yang diwajibkan. Sentuhan akhlak ini menyebabkan terwujudnya rasa aman yang menjamin kesinambungan peradaban yang langgeng, dan dalam waktu yang bersamaan ia juga mencegah penyimpangan.
Keunggulan akhlak peradapan Islam adalah sisi perbaikan kemanusiaannya. Sebab, manusia berwatak keras di sudut dalamnya. Ia diperintah untuk mensucikan demi menjamin pemeliharaan kemuliaan dan kemashlahatan manusia. Ia juga dibebani sebagai khalifah untuk membangun kehidupan dan menciptakan peradapan. Tentang kemuliaan dan kelebihan manusia ini, dalam Al-Qur’an dinyatakan:

وَلَقَدۡ كَرَّمۡنَا بَنِىٓ ءَادَمَ وَحَمَلۡنَـٰهُمۡ فِى ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ وَرَزَقۡنَـٰهُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَـٰتِ وَفَضَّلۡنَـٰهُمۡ عَلَىٰ ڪَثِيرٍ۬ مِّمَّنۡ خَلَقۡنَا تَفۡضِيلاً۬ (٧٠)
Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (Al-Isrâ'[17]: 70)
Dengan segala kekhususannya, peradapan Islam mempunyai keistimewaan esensial berupa peradaban yang universal. Ia ditegakkan atas dasar pengesaan ibadah secara mutlak kepada Allah Ta’ala, Tuhan semesata alam. Ia membawa sifat keseimbangan dan pertengahan, sebagaimana juga membawa sentuhan akhlak yang bernilai. Semua itu menunjukkan bahwa peradapan Islam bukanlah peradapan sempit, peradaban komponen masyarakat tertentu, dan tidak pula menentang fitrah kemanusiaan.
Inilah karakteristis Peradaban Islam yang tiada duanya dalam peradaban-peradaban dunia. Peradaban tersebut selaras dengan karakter abadi dan bersumber terus dari dasar-dasar Islam yang lurus. Ia memancar dari ketauhidan dan dilekati oleh bentuk menawan yang tidak dapat diganti dan diubah lagi. Jika kondisi berubah, maka Peradaban Islam mampu beradaptasi sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi, tanpa membuang dasar-dasarnya yang esensial.